[Lentera ….ємЈΞ]


Baca dengan hatimu, lalu berikan isinya padaku (Ku tunggu! Koment-y!!!) ~,~


"CINTAKU ADALAH KAMU"


“CINTAKU ADALAH KAMU”
     EMJE
Senin, 1 Januari 2010 (09:15)
Dear Diary.
Hatiku terasa sakit. Ada yang kudengar tadi, Eza mengatakan Sasti adalah wanita yang ia cintai bahkan ada kata-kata yang sangat membuatku iri. Sasti bukan hanya sekedar cinta tapi juga anugrah untuk Eza. “Ya Allah, salahkah jika aku ingin berada pada sosok Sasti...?”

“Astaghfirullahaladzim…” Aku segera beristigfar…ada yang salah pada harapanku disini. Tanda kurangnya rasa syukurku pada Ilahi.
            Agaknya pikiranku selalu berkutat pada masalah Sasti dan Eza. Apa yang salah? Eza hanya ingin menarik perhatian Sasti, Sastipun hanya seorang perempuan yang sedang di perhatikan oleh Eza.
            “Apa karena Eza. Hingga membuatku terusik? Lalu kenapa? Akh, mungkin aku merasa lelah sehingga berfikir sampe sejauh ini” Hatiku membatin.
            “Uagh…!” Segera kututup mulutku yang menguap. Bisa berabe kalo sampe Pak Deden tau.
            “Tuk,!” Lipatan kertas kecil mendarat tepat ditengah mejaku.
            “Mampus,!” segera kumasukan note book bergaris hitam putih itu. Agaknya Lemparan iseng itu disadari oleh Pak Deden.
            “Bruck,,!” Satu pukulan keras oleh penunjuk papan tulis yang sedang dipegang Pak Deden menggema. Sontak seluruh anak melotot kearahku.
            “Aduh…!” Aku hanya meringis menatapi nasibku. Bukan hanya akan dapet hukuman dari pak Deden karena tidak memperhatikannya. Tapi juga bisa mencoreng moreng imageku dengan tulisan didiary itu kalo sampe ia tau.
“Bisa didenger anak-anak yang lain,!!!” Sahut hatiku kisruh. ”Belom lagi ditambah hukuman dari anak-anak yang kena imbas kesalahanku. Ough…God” Tambahku.
            “Iren,,,!!!” Bentaknya hingga menundukan pandangan anak yang lain.
            “I…Iya…Pak…!!!” Belum ada yang pernah berani membantahnya. Mana mungkin aku menjadi korban selanjutnya.
            “Apa Ini,?” Tanya Pak Deden masih dengan nada yang tinggi.
            “Saya. Enggak, tau Pak,!” Aku sendiri masih tergagap. Membayangkan hukuman apa lagi yang akan ia timpakan pada anak yang berulah seperti aku ini, difikirannya.
            “Iya. Hanya difikirannya. Karena sesungguhnya aku memang tidak melakukannya. SIAL,!” Lagi-lagi aku mengoceh dalam hati.
            Dibukanya lipatan yang baru kusadari kehadirannya. Pak Daden sama sekali tidak tahu menahu dengan diary yang aku hawatirkan. Ternyata masalahnya hanya ada pada kertas kecil yang memojokanku sebagai tersangka utama.
            “My beautiful” Ucapnya, Jelas hatiku berdesir. Kata-kata apa itu? Benar untuku? Siapa? Perhatianku teralihkan kembali pada kemarahan guru yang terus melotot kearahku.
            “Ireen…,!” Lagi-lagi dipanggilnya namaku. Sedikit diperhalus, tapi sangat menusuk.
            “Saya Pak,!” Rasanya aku gak tau harus seperti apa menyikapainya. Dan bagaimana menyeleseikannya.
°°°
            “Mau aku Bantu Iren?” Sasti memegangi sapu lain yang tidak terpakai, aku mendongakan kepalaku agar bisa melihatnya. satu tempat yang sudah kusapu bersih, sekarang tinggal memasukan sampah dikeranjang sampah dengan tangan, karena Tidak ada serokan. Tapi itu bukan akhir dari hukumanku, masih banyak tempat yang menunggu untuk aku bersihkan. Ada Kantin, Mushola, dan lapangan.
            Sampahnya banyak. Perbuatan anak-anak yang masih seenake dewek(Baca: seenaknya aja/Bahasa jawa) buang sampah. Mungkin aku juga salah satunya. “Menyesal aku melakukannya. Mengingat memungutinya sekaligus, lebih memberatkan dari sekedar membuang sampah pada tempatnya” Berjasa sekali Pak Dirman, tukang bersih-bersih disekolah ini. Aku harus lebih menghargainya mulai hari ini.
            “Makasih,,,!!!” Jawabku pasrah. “Kenapa Sasti???” pikirku. Haduh,,,, dia yang selalu aku sisihkan kenapa sekarang yang membantuku.
            Halaman depan sekolahan Sudah selesei, Sasti menyarankan agar kita berdua mengerjakan pekerjaan yang berbeda. Dan Lapangan adalah pekerjaan yang ia maksud untuku.
            “Lapangan?” Bantahku. Meskipun ia meringankan sedikit bebanku tapi sangat tidak adil jika hanya sekedar yang enaknya aja.
            “Ya.udahlah,!” Jawabku pada akhirnya. Aku tidak akan meminta lebih, ia sudah cukup membantuku.
            Aku bergegas. Aku tidak akan beristirahat sampe pekerjaanku selesei. Bisa malas nantinya, belom lagi akan lama selesei. Buru-buru aku ngeloyor dari Sasti. Tinggal kami berdua yang menghuni SMAN 1 itu. Sekolah sudah dibebaskan setelah anak-anak menyeleseikan UAS-nya. Sekarang adalah nasibku harus berada di sekolah pada jam sekolah yang seharusnya longgar.
            “Siapa pula nih, yang membuat masalah ini?” Aku terus mangut-mangut rada kesel. Dan masih memikirkan penyebab hukumanku ini. “Harus ada balasannya!” Ucapku tandas.

            “Belom selese Ren?” Ucap Sasti yang membuatku terperangah.
            “Ngagetin aja sih” Aku memang kurang respek sama tuh anak. Dan tak pernah berhasil menyembunyikannya. Aku bisa baik sama siapa aja temasuk sama orang  yang jahat sekalipun. Tapi agaknya tidak untuk Sasti yang sangat baik itu.
            “Iren. Kamu bisa menyeleseikan yang satu ini sendiri kan? Eza akan mengantarku pulang sekarang” Tak terhindarkan perasaanku menjadi sakit. Eza penyebab lukanya semakin parah.
            “Uh, lagi-lagi” Hatiku perih.
            “Ya udah. Maaf ya aku jadi ngerepotin kamu,!” Kualihkan pandanganku dari tatapannya. Aku takut jatuhnya air mataku saat ia masih menatapku.
            Entah mengapa aku selalu berfikir. Sasti itu tau sikapku belakangan ini kepadanya itu karena apa. Mungkin karena itu juga ia berusaha bersikap baik padaku. Tapi untuk apa? Bukankah aku akan mengganggu hubungannya dengan Eza. Atau karena ia memang baik sampai-sampai ia tidak peduli sama apa yang aku lakukan padanya sebelumnya.
            “Akh… Sasti…. Aku merasa semakin jahat jika seperti ini sikapmu…” Tumpah sudah air mataku. Hening sudah keadaan sekolahku. Akhirnya aku benar-benar sendiri.
            Aku benar-benar menyeleseikan hukumanku. Sebelum pulang aku masuk kamar mandi untuk memastikan semuanya tidak berantakan.
            Rambut disisir, dikit. Muka di cuci bentar, makeup tipis, lipsglos tipis, plus perfume soft biar gak bau keringet.
            Yang terakhir…. Rapihin baju dan rok. Finish,
            °°°
            “Brum… brum…!!”
            “Brum… brum…brum… !!!”
            Dari luar pagar terlihat motor tiger yang biasa dipake Eza.
            “Mungkin aja yang mengendarainya Eza,!” Pikirku. Lagi-lagi perasaan itu datang. Ser, ser,,, wah kayanya bikin gugup deh.
            “Aduh Ren. Please deh. Tobat, tobat. Baru aja Sasti sebaik itu sama kamu, sekarang kamu mau berbuat jahat sama dia….” Aku segera menguasai hatiku. Untung bisa dikendalikan sebelum Eza ada di hadapanku.
            “Ren…” Sapa Eza setelah berada di depanku.
            “Ya Za. Lho… bukannya Sasti udah kamu jemput yah,?” Aku sama sekali tidak menatapnya. Bisa tergoda aku…
            “Kalo Sasti emang udah,!” Kalimatnya membuatku bertanya-tanya.
            “Jadi ada yang mau kamu jemput lagi selain Sasti,?” Aku bertanya sendiri didepannya.
            “Siapa.?” Tanyaku.
            “Kamu,!” Jawabnya. Haduh.. rasanya berbunga-bunga ni hati. tapi enggak, Gak boleh.!
            “Maksud kamu apa sih. Gak usah sok baik gitu deh..!” lagi-lagi aku mengelak. Entahlah, aku merasa tidak boleh seperti ini. Karena ini sudah tidak baik.
“Mungkin memang aku mencintainya. Bukan berati ia mutlak harus menjadi miliku dengan cara apapun dan dalam keadaan apapun. Apalagi yang sekarang memilikinya gadis yang sangat baik, sopan dan….!” Aku terdiam sejenak. “Akh,,, andai gadis yang dicintainya itu aku,,,,!!!” tambahku dalam hati.
“Apa menurutmu aku ini hanya sekedar baik,??” Eza menajamkan tatapannya. Seolah ingin menerkamku pelan-pelan.
“Mungkin,!” aku takut mendapati sikapnya. Bukan apa-apa Cuma jaga-jaga aja biar aku ingat dia udah ada yang punya.
            “Iren… kedatanganku disini bukan untuk menjemput atau mengantar pulang Sasti. Tapi aku ingn berbicara padamu Iren, aku hanya tidak ingin Sasti mengganggu”  Kalimat itu membuatku sanksi..
            “…..” Aku diam, sesekali kualihkan pandanganku. Bukan luluh, karena tanpa itupun hatiku memang telah memilihnya.
            “Kenapa? Apa kamu keberatan Ren?” Ia terlihat kecewa.
            “Ea, gak papa! Aku seneng dapet tumpangan!” Entah kata apa yang sebaiknya aku ucapkan “Akh, biasa aja!” Pikirku.
            “Ren! Kenapa sih kamu selalu membahas Sasti di tengah pembicaraan kita?” Pertanyaan Eza ku dengar sangat aneh.
            “Lho, memang kenapa?” Tanyaku kemudian.
            “Ya… gak enak aja jadinya!” Eza menjelaskan.
            “Gak enak? Aku gak ngerti maksud kamu!” Tanyaku lagi semakin bingung.
            “Asti menegurku beberapa kali, katanya semenjak aku mendekatinya sikapmu berubah. Apa itu benar?” Ucapannya membuatku berhenti tegang. Rasanya semua indraku telah berhenti berfungsi sekarang.
            “Hah? Em,,, aduh! gak usah muter-muter gitu deh ngomongnya. Ya udah deh aku pulang sendiri aja Za!” Sergahku agar bisa melarikan diri dari pertanyaanya.
            “Ren, Kenapa sih susah banget buat deketin kamu?”  sesaat setelah aku melangkahkan kakiku sekali, Eza tiba-tiba meraih lengan kananku dengan cepat.
            “Apa - apan sih Za. Jangan kurang ajar gutu dong!” Sentakku agak ketus, kaget aku dibuatnya.
            “Sory! Tapi aku gak tau lagi harus dengan cara apa aku bisa mengatakannya.!” Kulihat mata Eza berair. Aku semakin tak mengerti dengan sikapnya. “Dasar aneh” Hatiku membatin.
            “Udah deh Za, Jangan sok care gitu. Aku gak mau dia salah faham, hubungan kita udah cukup gak baik. Aku gak mau dia benci sama aku karena kamu!” Aku hanya bisa mengatakan itu dengan nada tinggi, aku tak ingin melukai orang yang bersedia membantuku barusan. Eza benar. Karena Eza aku memperlakukan Sasti sebagai saingan bukan sebagai teman.
            “Dia? Maksud kamu siapa? Kenapa dia harus membencimu? Kamu ngomong apa sih Ren!” Eza malah terlihat lebih bingung.
            “Denger Za. Sasti itu cewe yang baik. Aku gak mau dia berfikir macam-macam tentang kita!”  Kulepaskan pegangannya secara paksa, aku tidak ingin semakin lemah.
            “Seharusnya aku gak biarin kamu sebaik ini sama aku!” Aku bergegas pergi. Dari tempat Eza berdiri; ia berteriak mengatakan.
            “Aku melakukannya Karena Aku mencintaimu!” Ucapan Eza membuat kakiku seakan mati rasa. Ada perasaan senang, kaget, takut, semua jadi satu.
            “Aku melakukan ini karena aku mencintaimu Ren!” Diucapkannya lagi kalimat itu, segera aku berlari kearahnya.
            “Plack!” Satu pukulan mendarat telah dipipi kanannya.
            “Kamu bener-bener keterlaluan Za, kenapa kamu bisa sejahat ini padaku. Kenapa kau mengatakan cinta setelah kamu memilih Sasti. Mungkin aku memang memiliki perasaan yang sama, tapi aku tidak akan mengkhianati Sasti Za, dia sudah cukup baik padaku. Aku mohon jangan sia-siakan lagi dengan bersikap seperti ini pada wanita lain” Air mataku tumpah, sakit rasanya untuk memungkiri hatiku, tapi aku akan semakin sakit jika aku menyakiti Sasti juga.
            “Jadi,,, kamu???” Ucap Eza mendapati pernyataanku.
            “Yah. aku tau kamu suka Sasti, aku pernah mendengarnya! Dan kalo pendapatku gak salah kalian pasti udah jadian, gak usah ngelak, kalian gak akan sedeket itu kalo belum jadian!” Aku semakin berteriak.
            “Bukan. maksud aku, apa benar kamu juga mencintaiku Ren?” Kulihat mata Eza berbinar.
            “…” Aku sedikit bingung dengan pernyataan Eza.
            “Jawab Ren, jawab! Apa itu bener,,,!” Eza meraih kedua lenganku sanbil menggoncang-goncangkannya.
            “E…! Aduh ni anak kenapa sih, aneh bener!” Hatiku gak karuan, mau marah dia malah nanya soal hati. Lagi bahas Sasti napa jadi nanya-nanya tentang aku gitu sih.
            “Jawab!” Bentak Eza!
            “Iya!” Aku kaget dibuatnya, tanpa sengaja aku mengatakan perasaanku.
            “Iren….? Kenapa kamu gak bilang! Aku gak akan serepot ini kalo aja kamu mau sedikit memperlihatkannya” Eza berkata sambil kegirangan.
            “Apa apan sih kamu Za, gak lucu tau gak!” Ku lepaskan pegangannya, karena cukup kencang ia memegangiku.
            “Jadi gimana?” Tanya Eza tiba-tiba!
            “Gimana? Apanya? Kamu tuh nyebelin banget sih Za! Lo gak dengerin gua ya dari tadi ngomongin apa?” Aku bener-bener marah dibuatnya.
            “Kamu aneh banget sih Ren, bukannya seneng orang yang kamu cintai mencintai kamu juga. Eh ini bisa-bisanya pake marah-marah” Eza bersungut-sungut entah apa yang ada difikirannya.
            “Apa? Dasar! Gua bisa seneng kalo aja lu ma Sasti gak ada apa-apa, dasar cowo berengsek. Lu pikir gua cewe apaan” Karena kemarahanku aku semakin memarahinya dan mengganti kata ganti dari aku-kamu ke gua-elo.
            “Sasti. Kenapa kamu selalu bahas sasti, padahal dia gak ada kaitannya sama sekali dengan ini!” Setelah beberapa detk kemudian Eza tertawa renyah.
            “Hahaha! Jadi, kamu pikir aku sama Sasti ada apa-apa? Gitu?” Eza kembali membuatku tenang dengan 1 tanda tanya.
            “Pikir… Maksud kamu?” Aku kembali ber aku-kamu.
            “Iren.. apa kamu menjauhiku karena kamu pikir aku dan sasti ada apa-apa gitu?” Eza menatapku dengan sunggingan dibibirnya.
            “….???” Aku diam seribu bahasa.
            “hehh… kamu tau gak? Aku tuh Cuma suka sama kamu  Ren! Dan itu udah lama banget, aku pernah PDKT sendiri. Tapi kamunya cuek terus. Waktu aku minta tolong Sasti, kamu malah jauhin dia. Aku bingung tau gak mikirin gimana caranya biar kita deket. Makanya aku minta sasti deketin kamu dengan terus bantuin kamu. Aku pikir dengan begitu kalian akan berteman baik lagi dan aku bisa…..!!!” Sebelum sempat diseleseikannya.
            “Bentar, kamu gak suka sasti? Kamu deketin Sasti Cuma buat bantuin kamu deketin aku? Dan kalian gak pernah ada hubungan apa-apa?”  sergah aku.
            “Iren… ???” Eza seketika bersorak.
            “Yes, Thakz God! Kamu tau gak, gimana senengnya aku hari ini” Eza hamper saja melingkarkan tangannya di badanku. Untung aku sigap.
            “Akh, Eza! Kamu apa-apaan sih” Aku masih ragu, Sikap Eza membuatku tidak tahu menau.
            “Ren?” Dipegangnya tanganku dengan lembut.
            “Aku minta maaf, karena akan ada ending seperti ini. membuatmu berfikir sampai sejauh ini, dan aku yang menyebabkannya. hampir saja aku tidak menyadarinya jika kamu juga tak mernah membuat pengakuan seperti tadi” Mata Eza semakin berbinar, ia mencoba meyakinkanku tentang sesuatu hal.
            “Denger Ren, Bukan Sasti. Tapi cintaku adalah kamu” Ucap Eza seberti berbisik. Aku mendengarnya berdesir. “Akh, apa ini. apa aku sedang bermimpi?” Ku lihat Eza penuh keyakinan, akankah ia berbohong.
            Aku tertunduk. Ada perasaan senang dalam hatiku, tapi jujur aku masih ragu untuk mengakuinya.
            “Besok. Aku akan cerita ke Sasti, ia harus tau tentang sahabatnya yang satu ini. mungkin dia akan senang sekaligus marah jika ia tau sahabatnya ini menerimaku setelah menyangka aku menyukai sahabatnya” Eza memalingkan pandangannya. Dan menerawang di balik awan yang sedang dipandangnya.
            “Eh, aku belom nerima kamu!” Ucapku cepat, meralat kalimatnya yang terucap sangat cepat.
            “Gak tadi. Tapi sekarang pasti” Jawab Eza tak ragu. Disambutnya tangan kananku, kemudian ia berlutut kearahku.
            “Iren. Maukah kamu menjadi temanku?” Ucapan Eza membuatku melepas cepat pegangannya.
            Eza tersenyum lalu berkata “Kalo kamu gak mau jadi temenku, pasti kamu mau jadi pacarku” Tak terasa, bibirku merekah tiba-tiba. Sulit untuk menolak apa yang sesungguhnya ingin kudapat.
            “Tuh kan, mau. gak salah dong kalimatku tadi?” Eza terlihat senang mendapati tingkahku.
            “Apaan sih!” Aku hanya bisa berkata itu. Bagiku sikapku cukup untuk menjawab pertanyaannya, dan memberikan permintaannya.
            “Huh! Bikin repot aja sih!” Ucap Eza jail.
            “Yee,,, sapa suruh deketin temennya. Napa gak langsung orangnya aza!” Aku berlalu dari hadapannya. Aku senang mendapati semuanya “Mimpiku, Nyata” Batinku.
            Eza berjalan sejajar dengan meraih tangan kananku.
            “Oy,,, Aku pernah denger  kamu ngomong bukan sekedar cinta, tapi juga anugrah untukku didepan Sasti” Aku mengenang kekeliruanku.
            “Itu karena Sasti bertanya, kenapa ia harus membantuku” Ralat Eza.
            kemudian aku bersyukur dalam hati. Ternyata yang membuatku iri selama ini adalah diriku sendiri, Bukan Sasti.
            Hhe.  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

_`About Me’_


_`About Me’_
EMJE
            Sudah lama Aku ingin menyapukan penaku pada lembar kertas seperti ini. tak kusangka, akan sekangen ini jadinya. “Sayang… Angkat gorengan didapur, nanti gosong” Tiba-tiba Mama berteriak dari dalam kamar mandi. Enggan rasanya Aku beranjak dari tempat duduku sekarang.
            Tak lama kemudian Satyo datang dengan tergopoh-gopoh. “Neng! Kaka nitip ini yah?” Disodorkannya seikat kantong plastik. Segera kusambut pemberiannya, kemudian berlalu untuk mengikuti perintah Mama tadi.
            “Ma… gorengannya agak gosong!” Ucapku. Mama yang ada didalam kamar mandi, diam tak menjawab. “Lagi masak ko ditinggal sih Mah?” Aku bersungut-sungut. Bahaya rasanya, jika pada saat ditinggalkan tidak ada orang lain dirumah.
            “Loh… Tante kemana neng?” Satyo mengikutiku sampai didapur. Mungkin menunggu mangkuk yang berisikan apa yang dibawanya.
            “Di kamar mandi tuh! Kakak bawa apa?” Rasanya berat sekali untuk sekedar sup.
            “Diliat aja sendiri. Nanti juga tau!” Ucap Satyo sambil membereskan rambutnya. Diluar terlihat gerimis. Satyo keujanan kali, soalnya dia sedikit kuyup. Pantes tergopoh-gopoh dan sedikit terburu-buru memberikan kantong plastic yang berisikan sup itu.
            “Maaf yah sayang. Mama kebelet, jadi buru-buru kekamar mandi.” Ucap Mama ketika muncul dari daun pintu.
            “Eh… Nak Satyo ko ada disini?” Sapa Mama pada Satyo. Satyo senyum-senyum gak karuan. “Eh, Tante…” Satyo sedikit malu, karena kakinya sudah nangkring diatas kursi yang sedang didudukinya.
            Itu kebiasaan Satyo kalo udah sama Aku. Semaunya sendiri. “Makanya… !!!“ Aku meledek kegirangan melihat mukanya yang padam.
            “Ini Tante, ada sup dari Mama… katanya, tante gak masak yang berkuah  yah?” Satyo  kembali sesopan mungkin. Aku menertawainya dalam hati. Dalam hati, iapun masti ingin menjitakku setelah ini. Hehehe….
            “Makasih ya Satyo. Salam buat Mama juga ya?” Ucap Mama. Keluargaku dengan keluarga Satyo terbilang sangat dekat. Kadang aku juga diminta untuk mengirimkan makanan kerumahnya. Ya, begitulah….
Setelah Mamah kembali. Aku lekas kekegiatanku semula, yaitu menulis. “Sama-sama Tante. Nanti disalamin.” Satyo tidak langsung pamit, dan mulai mengekor dibelakang.
“Uh… sebel! Bukannya bilang ada Mama… eh, ni anak malah ketawa. Nyebelin banget sih!” Satyo langsung mengacak-ngacak rambut yang memang sudah acak-acakan.
“Ngapain ngasih tau. Emang perlu?” Aku melotot. Ia malah menggelitikku dengan sedikit kata-kata bualan yang sudah sering aku dengar.
“Berani yah! Sini, aku kelitikin. DASAR…!!!” Ucapnya.
Tak sengaja kakiku tertekuk dan menjatuhkan diriku kebelakang. Upss! Satyo langsung berbenah ketika tubuhnya mengenai tubuhku. “Maaf neng. Kakak gak sengaja!” Mukanya memerah lagi.
“Aduh. Kakak ini… Sakit tau…” Aku berpura-pura mengurut-ngurut kakiku yang tidak sakit. Satyo agak panic, tapi setelah aku tersenyum dia mulai mengacak-ngacak rambutku lagi.
“Dasar penipu…” Kami tertawa bersamaan.
ßß
            Hampir beberapa minggu kami terdiam. Aku kembali menulis kertas yang kosong. Ia duduk disebelahku sambil memainkan mangkuk yang dibawanya. Entah apa lagi yang sedang ia lakukan!
            “Neng, Kaka boleh minta tolong gak?” Ucapnya kemudian.
            “Kakak mau minta tolong apa sih sama eneng?” Aku menjawabnya tanpa merubah posisi kepalaku, aku masih fokus pada tulisanku.
            “Kaka minta dibuatin kata-kata yang romantis dong!” Jariku terhenti, ada yang menggelitik hatiku.
            “Kata-kata Romantis? Buat apa? Buat siapa?” Kualihkan pandanganku pada satyo, kemudian kamipun saling berpandangan.
            “Akh, enggak! Eneng kan suka bikin puisi. Coba, bisa bikin kata-kata yang romantis gak buat Kaka?” Dia semakin memajukan mukanya. Segera kutepis pandanganku didetik ketiga.
            “Kecil…” Tantangku. Segera kubuka lembaran baru yang kosong. Kemudian menulis kata demi kata.
            Diperhatikannya, aku semakin canggung! Tapi, tak terasa tulisanku mengalir begitu saja dari dalam hatiku.
          Dear: Kak Satyo yang sangat Aku cintai.
Tak terasa, sudah lama cinta ini bertahan dalam hatiku. Tak terurai lagi asa yang pernah ada dalam benakku. Betapa aku ingin mencurahkannya padamu. Betapa aku ingin menumpahkan rasa yang sudah kupendam dalam. Sudikah kiranya kau sambut hati yang membisu. Ataukah mengerti tentang indahnya perasaanku. Tak lama aku menanti, kau datang menemuiku untuk meminta hati. Memberiku celah untuk berbagi. Membuka hati didetik ini.
Special moment, just for you…
            Tanpa dipintamembaca, Ia telah selesei memahami isi dalam setiap baitnya. “Loh! Ko diem. Nih, dibaca!” Ucapku ragu, aku takut salah!
            “Udah dibaca ko Neng!” … “Sambil ditulis, sambil di baca!” Lanjutnya.
            “Gimana?” Bagus kan?” Aku mulai salah tingkah. Ia menatapku aneh, “Apa ada yang salah yah?” Ucapku dalam hati.
            “Lumayan!” Komentarnya. Ia membelai kepalaku. Bukan seperti tadi, ia lebih lembut memperlakukanku.
            “Neng pinter bikin kata-katanya!” Sahutnya lagi. Lalu kembali berkata. “Kakak lagi suka sama seseorang Neng! Kakak bingung bagaimana mengutarakannya… Neng mau bantu Kakak gak? Bikin kata-kata kaya gitu buat cewe yang kaka sukai…” Terlihat dimatanya ada ketulusan. Kutepiskan mahluk indah itu, tangannya kuturunkan dari kepalaku. Kemudian kupalingkan pandanganku darinya.
            “Siapa Kak? Cantik Gak?” Sudah dua menit kutatap lembaran kosong yang kusediakan untuk kata-kata yang diminta Satyo. Tapi tak jua terlintas apa-apa dalam otakku.
            “Gimana? Bisa gak?” Ucapnya lagi, tak menjawab tanyaku. Ku hela nafasku dalam-dalam. “Kayanya gak bisa sekarang deh Kak! Besok aja, gimana?” Aku segera mengambil lembaran yang sudah terisi kata-kata yang dari tadi kubuat.
            “Aku lagi bikin cerpen Kak! Aku selesein yang ini dulu yah?” Lagi-lagi aku memberikan alasan untuk mengelak.
            “Yah, gak bisa Neng! Harus sekarang. Kalo gak, Kakak gak akan punya keberanian lagi untuk mengutarakannya.” Satyo mendesak. Ia tidak tau, aku tak mungkin menuliskan sepucuk surat untuk seorang wanita dari seorang laki-laki yang….
            “Neng…!!!” Satyo mengagetkanku. Ia tau aku sedang berfikir agaknya.
            “Kalo Neng gak bisa. Gimana kalo Kakak yang buat? Nanti Neng yang nilai” Aku semakin tersudut. Tapi aku sudah tidak bisa untuk mengelak. “Ya. Udah!” Jawabku pasrah.
 Dear, Neneng Anggradesty.
Sudah aku duga. Hatimu telah terpautkan dalam. Tak tergantikan oleh indahnya apapun dalam jiwamu. Ketulusanmu ada pada mata yang tak pernah mampu untuk meyakinkanku. Dimana ada malu, dan ragu yang menyelimutimu.
Bukan itu yang sedang aku ingini. Bukan pula, jadi bagian yang kutuju saat ingin berbagi. Aku ingin kau melihatku hingga dalam hati. Sampai kau tau, kebenaran yang telah ada. Juga ada dalam hatimu.
Tentang Cinta…
            Disodorkannya tulisan itu. “Dear, Neneng Anggreadesty?” Aku terperangah mendapati namaku ikut serta dalam tulisannya. Tapi aku juga tak berusaha untuk bertanya.
            “Kenapa?” Ucapnya, “Em…!!!” Lagi-lagi berat rasanya untuk bersua.
            “Ia… ???“ Satyo kembali menggodaku. “Ieh… Kakak ini!!!” Aku yang merasa sedang dikerjai kembali mengendalikan diriku sendiri.
            “Itu emang buat Eneng kok!” Satyo berucap. Aku hanya diam memperhatikan wajahnya. “Ah! Kakak ini, iseng banget sih!” Kualihkan pandanganku. Tapi, satyo memegangi kepalaku dengan kedua tangannya.
            “Neng! Orang yang Kakak sukain itu ada didepan kaka. NENENG ANGGREADESTY…!” Aku bingung dibuatnya. Aku bingung meresponnya.
            “Kenapa Kamu menuliskan kata-kata itu untukku. Tapi tidak untuk wanita lain yang ingin aku beri?” Lagi-lagi aku terdiam.
            “Kenapa kamu gak pernah bisa menatapku?” Aku menundukan kepalaku. Aku baru menyadari perkataan Satyo itu benar. Kenapa? Entahlah…
            “Karena kamu mencintaiku!” Satyo meyakinkanku. Aku yang sedang diyakinkan semakin bingung. “Kenapa? Kenapa Kakak bicara itu sekarang?” Aku terbata-bata mengucapkan kalimatku. “Karena Kakak baru melihatmu yakin hari ini…” Kata-katanya membuatku tidak bisa bersikap banyak.
            “Aku… Aku… “ Hanya itu yang terucap.
            “Kakak sayang sama Eneng. Tapi Kakak gak pernah ngeliat Neng punya perasaan yang sama kaya Kakak. Kakak gak mau bertanya sesuatu yang gak pasti. Melihatmu seperi itu membuatku berfikir… kamu juga tau perasaan Kakak. Karena kamu juga sedang memilikinya…” Tak terasa sudah setengah jam kita dalam posisi itu.
            “Neng… Makan Siang sudah Siap! Ajak Nak Satyo makan juga!” Ucapan Mama membuyarkan suasana canggung diantara kita. Aku tersenyum Satyopun menurunkan tangannya dengan segera.  Lalu dipeluklah diriku dengan posisi yang tidak nyaman. Ada pena dan kertas berserakan diantara kita. Jadi gak dipeluk sepenuhnya(Hhe).
            “Aku pikir, ada Cewe lain…” Ucapku. Aku tiba-tiba takut jika benar itu terjadi.
            “Aku ingin kamu yang menyadari perasaanmu sendiri saat mencintaiku. Sudah lama, aku ingin kamu engkau benar-benar mencintaiku. Seperti hari ini!” Ucap satyo membuatku luluh, rasanya bahagia bisa mengungkapkan perasaan kita kepada orang yang kita cintai dan mendengar perasaan cinta dari orang yang mencintai kita.
            “Aku memang sayang Kakak! Hanya saja aku merasakannya bukan Cuma sama satu orang. Aku pikir itu bukan apa-apa! Tapi… setelah Kakak membuatku takut, ada orang lain yang ada dihati Kakak! Aku baru sadar, orang lain tidak membuatku takut saat mereka mencintai selain dariku. Aku…” Kita diam. Hanya waktu yang melanjutkan hubungan kita selanjutnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cinta Adalah Umi dan Abahku Juga Tambatan Hatiku


Cinta  Adalah  Umi dan Abahku Juga Tambatan Hatiku
EMJE
“Ya  Allah,,,  Kutaruh  hatiku  padamu!”  Pada  Akhirnya  kuserahkan  semuanya  pada  Allah.  Alangkah  berat  masalah  ini  kurasakan,  alangkah  sulit  perasaan  ini  aku  tahankan.
Kubenamkan  pandanganku  pada  sajadah  dipukul  01:00,  malamku terusik. Masalahku  terus  membayangi  detik-detiku.  Betapa  sulitnya  aku  menahan  kemelutku  betapa  beratnya  hatiku  menahan  bebanku.
Isaku  semakin  kian  membuncah, derai  tangisku  semakin  jelas. Allah  satu  tumpuan  hidupku  yang  takan  pernah  lekang,  curahan  hatiku  yang  tidak  pernah  akan  tergantikan.
“Ya  Allah,  hamba  tersedu  dihadapanmu. Tak  henti-hentinya  hati  hamba  diselimuti perasaan gelisah” kalimatku terputus. Tak lagi dapat kukatakan yang ada didalam hatiku. Aku terus menangis, menangis dan terus menangis.
Bagaimana aku menggambarkan perasaan cintaku pada ilham yang kian dalam. Harus bagaimana kucurahkan bakti cintaku pada mereka, orang tua yang selama ini mengiringi tiap langkahku. Bagai mana mungkin aku harus membagi cintaku pada semuanya dengan ikhlas.
Sakit, hanya itu yang bisa aku rasakan. Pedih yang hanya berhasil kutahankan. Alangkah sedihnya hatiku harus harus memilih satu dari dua cinta dihatiku.
Sungguh ini amat sulit. “Ya Allah, ilham adalah cinta pertamaku…” lirih kurasakan kata-kataku sendiri. “Ilham adalah cinta yang untuk pertama kalinya berani aku kukuhkan…” Benar, mengingatnya sangat pahit.
Ilham bukan orang kaya yang bisa aku banggakan untuk menghidupiku. Ilham bukan orang yang tampan rupawan untuk menghiasiku dan Ilham bukan seorang laki-laki yang memiliki kelebihan dari sosok lain.
Tapi tanpa sadar hatiku hatiku jatuh padanya. “Ya Allah. Aku telah mempercayakan cintaku ini padanya.” Lagi-lagi aku menangis. Mungkin dengan begitu rasa sakitku akan berkurang.
Bahkan Ilham bukan orang yang sangat baik hingga tidak memiliki celah untuk sebuah kesalahan. Aku mengetahui keburukannya. Aku tidak menyukai sisi yang ini padanya.
Lagi-lagi tentang hati dan perasaanku. Aku begitu berharap untuk mendapatkan pendamping seperti dirinya. Aku begitu terpaku dengan satu sikapnya.
“Astaghfirullahaladzim…!!!” Sesekali aku beristighfar. Menyadari betapa bodohnya aku telah mengagumi sosok yang tidak pernah nyata dihadapanku itu. Lagi-lagi aku beristighfar “Astaghfirullahaladzim…!!!”
Aku mengenangnya. “Ilham Rizkiasha” Kekasihku ditahun silam, 8 Agustus 2009-17 September 2009. Bukankah waktu yang cukup singkat untuk mencintainya. Berawal dari keisengannya sewaktu dibangku SMA. Setelah aku mengenalnya dengan sapaan Ilham oleh teman satu kawanannya. Aku melihatnya dengan balutan koko putih dibajunya, kain hitam licin melingkar sebagai celananya dan sebuah peci hitam yang membuat hatiku berdesir.
“Benarkah ia yang mendekatiku tahun lalu” Ada kaguman dihatiku, sayang dibatasi oleh dinding cinta yang juga membayangi kita berdua. Disebutlah Rima sebagai pacarnya dan Viki pacarku.
Entah cinta seperti apa yang kurasakan padaViki.mentah ada perasaan seperti apa pada Ilham. Tapi awalnya semua itu hanya berkelebat beberapa hari dan berlalu oleh perasaan masing-masing.
Lalu tibalah hari itu. Cintaku pada Viki hanya sampai diujung putus. Semua perasaan yang terjadi kurasakan semu. Setelah menjelang beberapa beberapa hari hatiku berubah dan tak kukenali apa itu cinta pada  dirinya. Viki hanya seseorang yang kuanggap sebagai sosok yang rajin gak pernah nyerah dan memperhatinkan.
Perasaan nyamabku hanya ada pada sikapnya yang meng-Iyakan keinginanku agar aku senang.
Lalu perasaan seperti apa lagi yang ada untuk Ilham. Mengapa ia lebih dominan dari yang lain, mengapa hatiku menolak untuk menghapus jejaknya. Jejak yang tak kukenali hingga aku tersesat semakin jauh hingga saat ini.
Mataku sembab. Dadaku juga sesak, rasanya aku tak sanggup jika harus menangis berkali-kali malam ini.
“Astaghfirullahaladzim…” Hanya itu yang mampu menguatkan kerapuhanku.
“Astaghfirullahaladzim.” Juga kalimat terakhirku saat tidak lagi kurasakan sakit didadaku.
Lagi-lagi aku menuangkan kegundahanku. “Jika memang ia bukan takdirku…” Aku menahan napas. Lalu lalu menghembuskannya dengan kuat. “Bimbing hamba untuk mengiklaskannya ya Allah” Hatiku berkelebat seputar cintaku. Cinta yang dibatasi oleh dinding berlapis-lapis.
Lapis satu untuk cinta yang tidak sanggup aku miliki dengan mudah. Cintaku pada Ilham yang tidak tergadaikan.
Satu lapis lagi untuk cinta yang tidak sanggup aku miliki hanya dengan bakti yang tidak mungkin aku gadaikan dengan yang lain. Cintaku pada mereka melebihi cinta yang tak tergadaikan pada Ilham.
Mereka kedua orang tuaku….
ØØØ
Sudah semalam suntuk dari mulai sore hari aku seperti ini. tidak mengutarakannya dan juga tidak keluar kamar bertatap muka dengan mereka. Mungkin kedua orang tuaku tau dan berusaha menutupinya agar aku dapat mempertimbangkannya.
“Umi bukan ingin melarang… tapi mengertilah nak…!” Umi bersimpuh disampingku sambil memegangi kedua tanganku.
“Kalo bukan ngelarang. Apa namanya…?” Aku menangis, aku sedang mengkompromikan hatiku.
“Ada yang jauh lebih baik nak… percayalah!” Umi masih saja tidak mengindahkan hatiku. Rasanya sakit jika perasaan kitatidak diijinkan oleh seseorang yang sangat kita harapkan persetujuannya.
“Memang yang baik itu yang seperti apa Umi…?”  Aku berusaha mengerti. Tetapi tetap tak dapat berhasil membendung rasa sakit lewat air mataku.
“Yang pasti, yang Allah takdirkan nak!” Umi bener-bener berusaha. Untuk itu aku kemudian berkata. “ Jadi maksud Umi. Ilham bukan laki-laki yang Allah takdirkan…?” Aku terisak. Bagaimana mungkin Umi menghakimi sosok yang telah membuatku jatuh hati, bahkan sekalipun Umi tak pernah tau Ilham itu seperti apa. Umi tak pernah bertanya sedikitpun dan menolaknya dengan tegas.
“Sejahat itukah Ia hingga tega memaksakan hati anaknya…?” Hatiku berceracau, tak lagi kusampaikan. Inilah egoku! Ego yang ingin bisa aku pertahankan. Akh… aku tau betul mereka ingin agar aku mendapat kebahagiaan. Tapi, kebahagiaan yang seperti apa yang ingin mereka tawarkan? “Adakah kebahagiaan yang dapat melebihi perasaan bahagia yang ada dalam hatiku, seperti apa yang sedang aku rasakan?”
“Kamu akan mengerti. Jika sudah tiba saatnya…” Lirih kudengarkan untaian kata-kata Umi. Melihatnya seperti itu hatiku sangat terpukul. Bagaimana mungkin seseorang yang kuanggap baik dan kupertahankan mati-matian bisa memperlakukan Umi seperti ini. membuatnya berlutut padaku. “Astaghfirullahaladzim” Takkuasa menahan asa dan nestapa. Kerap kupendam segala lara dalam dada.
“Umi… Aku ingin jadi anak yang nurutbuat Umi…” Jawabku pada akhirnya. Dan ini adalah kalimat terakhirku dimuka Umi. Setelah itu hanya Allah tempatku berbagi dan membekali percaya diri akan takdir yang nanti kujalani.
ØØØ
            Malam membawaku pada massa yang rentan. Semalaman cinta mengusiku dalam tidur, hingga pagi menjelang mataku tak jera untuk terbelalak. Apa cinta yang seperti ini yang akan aku tunjukan? Atau cinta yang seperti apa yang sudah aku dapatkan?
            Hening… Sepi… tak membuat hatiku berhenti untuk berkata-kata. Ada dzikir didalamnya. Kemudian ditepis suara hatiku yang berkutat pada cinta.
            Cinta! Cinta! Cinta! Tak kusangka. Cinta dapat membawaku pada suatu masalah. Kini cinta membawaku pada suatu pertentangan. Apa yang salah, dua-duanya baik menurutku. Lalu mengapa harus ada pilihan?
            “Hidup adalah sebuah pilihan!” Mungkin maksud kata-kata itu sedang menunjukan kebenaran adanya. Atau memang benar apa yang dikatakan Umi. Mungkin aku memang tak berjodoh dengannya, hingga hal ini bisa terjadi.
            “Ya Allah. Apa ini pilihan yang yang kau jatuhkan padaku?” Betapa hancur hatiku sekarang. Tumpah ruah segala sedu sedan dalam harapku.
Harapan yang selalu aku nantikan, harapan yang selalu aku ajukan dan harapan yang….
Akh…!!! Aku memang terlalu berharap untuk ini sekarang.
“Maka dengan ini ya Allah, adakah kebaikan yang akan engkau berikan kepadaku jika sudah kuputuskan siapa satu yang kuajukan sebagai pilihan,” Tanganku masih menengadah. . berharap berkah dan rahmatnya datang tiba-tiba, mengubah asa jadi nyata. Hingga tak harus kupikirkan lagi tentang cinta dan mereka.
“Astaghfirullahaladzim…!!!” Hatiku buntu. Tak mampu kuseka semua lara, tumbanglah diriku ini bersujudkan pada sajadah yang sedang kupakai untuk berdoa. Terdengar diluar kecipak air. Mungkin itu Umi dan Abah! Mereka pasti ingin berdoa juga untuk anaknya, meminta kebaikan padanya.
Mendapatinya hatiku semakin pilu. Pupus sudah semangatku untuk terus menyodorkan cinta. Sedang ia yang kucinta tak berbuat apa-apa. Semua letih dan lelahku kurasakan sendiri. Sedang merekaI kedua orang tuaku, tetap bersamaku untuk menemaniku.
“Adakah kebahagiaan yang melebihi kebahagiaanku sekarang?” Aku mengingatnya. Sungguh! Tidak ada kebahagiaan melebihi kebahagiaan seorang anak yang terus dicintai oleh kedua orang tuanya dari kandungan sampai keliang lahat. Adakah cinta yang yang dapat melebihi cinta yang mereka punya. Setidaknya satu cinta yang telah mereka berikan, sedikitpun belum terbalaskan.
Akankah aku tetap menginginkan cinta selain darinya. Umi dan Abahku… “Astaghfirullahaladzim…” Malam menyatukanku pada massa yang takan pernah kulupa. Dimana suka dukaku lebih banyak bersama mereka.
“Ilham cukuplah bagiku untuk tetap mencintaimu. Kau akan tetap kusimpan dalam harapku. Saat itu, Allah mungkin akan memberi jawaban pasti. Dimana takdir akan mempertemukan kita kembali”
Sebelum subuhmenjemput. Mataku mulai berayun-ayun, seiring tenang dan damai kembali menjamah hatiku. Memberiku ruang keikhlaskan dan keputusan yang dapat ku berikan esok kala Umi dan Abah angkat bicara.
“Mungkin inilah cintaku… Cinta Umi, Abahku… dan cinta tambatan hatiku…” yang akan tetap berada dalam hatiku! Tambahku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Lembar dari Diary-ku


Lembar dari Diary-ku

EMJE
04-04-2010
Suatu hari nanti. Kamu pasti menemukan hal yang membuatmu berhenti melakukan banyak hal. Bukan karena tidak mau, tapi karena tidak bisa. Entah ini karena egomu sendiri atau memang sebuah tekanan yang ada diotakmu.
Seperti keadaanku saat ini. tidak mudah rasanya membagi rasa tidak enak ini dengan siapapun. Karena memang sangatlah tidak mudah aku mengeluarkannya. Tapi lambat laun hatikupun akan tumpah oleh seabrek rasa yang ingin aku muntahkan, jika aku bisa.
Barbicara soal hati. Perlu diketahui. Aku mampu menahan rasa sakit sedalam apapun, tapi tidak untuk sesuatu kejadian yang membuatku terharu. Air mataku itu murah untuk sebuah kejadian yang menyedihkan. Untung menangis adalah satu macam bentuk kesehatan bagi mata.
Balik lagi. Ini gak mudah, tapi aku ingin orang yang memberiku rasa tidak nyaman ini tau, aku ingin ia berkomentar tentang kelakuannya terhadapku.
Aku gak suka dia diam berlagak tidak tahu, aku gak suka dia acuh untuk sesuatu yang telah ia mulai, bahkan ini bukan kemauanku sedikitpun. Ini adalah sebuah paksaan.
Ini bukan sanggahan atau kritik. Karena banyak orang telah terlibat didalamnya. Ini juga bukan fonis-an kelakuannya ini baik atau tidak. Hanya menyadari setiap harinya aku merasa susah payah, takut, dan gelisah. Membuatku muak untuk terus diam.
Anggap ini cuap-cuap asal dan berharap ada orang bijak yang mau menyelipkan kata “Ini tulisan punya maksud”. Akh… itu bualan. Aku hanya sedang menegur dengan sehalus mungkin.
Tapi sungguh rasa ini tulus dan begitu sakit. Rasa sakitnya sudah menjalari hati kecilku. Rasanya ingin mati… (Mati rasa sakitnya).
Berkali-kali sabar ku jadikan umpan untuk ketegaranku. Tapi apa ia hatiku menerima semua bentuk kepedihan hanya dengan kata sabar.
“Aku tidak ingin sabar. Jika balasannya adalah rasa sakit” Karena yang aku fikirkan “Jika ada rasa sakit baru kita mencoba untuk bersabar”
Bohong. Jika manusia tidak memiliki sisi buruk sama sekali. Atau memang aku yang tidak tau ada manusia semulia itu(Kec,Nabi).
Apa ada manusia yang menyerupai malaikat. Yang akan senantiasa seperti tuntunan Allah SWT. Lagi-lagi aku ingin berkomentar “Manusia hanya merencanakan, Allahlah yang memiliki hak melakukan segala bentuk kebaikan”
Ini emosiku yang tidak stabil. Ini pemberontakanku secara tidak langsung. Cuap-cuapku yang asal dan ingin ku sampaikan. Tulisan ini tak bernilai untuk kalian tapi sangat berpengaruh buat hidupku kedepan.

Ttd: Ifta_Mufti

ºººººº
            Ia adalah seseorang yang baik menurutku, entah untuk orang lain. Rizki namanya.
            “Assalamu`alaikum?” Sapanya halus. Awal pertemuanku begitu indah, bagai mana bisa kutepiskan dengan mudah?
            “Wa`alaikum salam!” Kuberikan pula senyumanmanku dengan semanis mungkin. Berharap ia bisa terkesan dengan sikapku.
            Ia ngeloyor ditengah perbincangan anak yang lain, aku yang mendapati tegur sapanya merasa senang mendapat umpan. Hhe,,, Kaya ikan!
            “Em… Dia lumayan Ta.” Nimbrung Ari. Aku hanya mengangguk tak berkomentar banyak. “Alah. Bilang aja kamu suka!” Singgungnya. lagi-lagi aku diam, sebatas mengangkat kedua pundakku.
            Setelah itu, seperti ada yang bersemi didalam hatiku. Seperti ada yang merekah juga, berwarna-warni. Semua terasa membahagiakan. Lagi-lagi semua terjadi dengan sempurna.
ºººººº
“Ta. Hari ini aku beruntung bangetbisa ketemu Rizki. Alhamdulillah, ia bisa membantuku.” Ira berceloteh. Bukan ia yang membuatku tertarik, tapi seseorang yang sedang ia bicarakan yang membuatku tergelitik.
            “Dimana? Kenapa? Bagaimana?” Tanyaku runtut memburu jawabannya. Ia hanya tersenyum melihatku. Sepertinya aku lucu dimatanya! Pikirku.
            “Di rumah Ari. Aku butuh seseorang untuk membantuku menyiapkan perlengkapan untuk lamaran yang ingin aku ajukan besok, memang sangat mendadak. Untung dia mengerti dan membantuku untuk menyiapkannya.” Terangnya berapi-api.
            “Hem… “ Gumamku. Rizki memang baik banget. Bukan hanya Ira, tapi orang lainpun jika menghadap padanya pasti langsung dibantunya jika ia bisa. Kemarin saja ia habis membantu Ari untuk membuat karya tulis ilmiahnya. Rupanya Rizki mempunyai kebisaan dalam banyak hal! Kenangku.
            Akh… Lagi-lagi Rizki! Memang. Aku tak pernah bosan untuk membahasnya, tapi tidak untuk hal-hal yang lain, aneh. Kuraba hatiku beberapa hari ini, agak sedikit berbeda. Sikapku, perhatianku dan tentu ini tentang perasaanku.
            Rizki! Rizki! Rizki!
ºººººº
            “Ta. Rizki tuh!” Panggil Ira sambil menunjuk kearah Rizki. Aku sangat kikuk mendapati sikap tiba-tiba Ira. “Aduh ini anak!” Batinku. Rizki mendekat, semakin rapat mengakibatkan hatiku tersipu.
            “Hai Ta!” Ucap Rizki. Tak kujawab, sekedar kujawab dengan senyuman saja. “Mau kemana Ki?” Tanya Ira. “Ke… “ Selang beberapa detik Ari datang menimpali “Ki… ajak Ifta aja, dia tau ko.” Lagi-lagi hatiku tergerak. Membuat jantungku bergoyang-goyang dak! Dik! Duk! Dak! Dik! Duk!. Mungkin tinggal beberapa menit, jika mereka melakukan hal yang membuat hatiku bereaksi maka jantungku akan segera meledak.
            “Hufh…” Kuseka nafasku berkali-kali. Seakan ada gundukan rasa tidak nyaman didalamnya. Aku masih terdiam,membiarkan mereka saling menyela. “Akh… aku selalu saja dikait-kaitkan!
ºººººº
            “Kita istirahat dulu yah Ki. Aku cape!” Pintaku. Rizki mengikuti. Disodorkannya sebuah minuman pocariswet ukuran 500 ml. “Ko 1?” Pikirku. “Barengan kali.” Batinku.
            “Rizki, Aku mau Tanya. Ko kamu mau sih bantun Ari sampe kaya gini?” Sembari membuka segel ditutup botol, kupandangi wajah Rizki dengan sangat kisruh. Bersamanya membuat jantungku berolahraga lebih berat dari biasanya. Karena pompaan didalamnya terasa bertubi-tubi, hingga nafasku tak lagi dapat mengikuti.
            “Ifta juga mau kan bantuin Ari?” Bantahnya. Membalikan pertanyaan itu kepadaku lagi. Mendapatinya, aku hanya terdiam mengiyakan saja apa yang ia bilang. Kemudian ia tersenyum.
            “Sebenarnya… ini gak sepenuhnya untuk Ari ko!” Ucapnya.  Membuatku bertanya-tanya. Tanpa suara dariku, ia tetap bicara. “Rizki seneng aja. Karena Rizki bisa bersama Ifta sekarang” Tuturannya seperti bualan. Hanya saja, tatapannya terlihat sangat meyakinkan. Karena kebingungan, lagi-lagi aku hanya bisa diam.
ºººººº
Esoknya.
            Setelah seminggu, tugas Ari dikumpulkan! Katanya. Padahal bukan itu kebenarannya. “Gimana?” Tanya Ari dan Ira berbarengan. Mereka malah tertawa dengan sikap kompaknya. Aku terbawa suasana, kemudian ikut tertawa renyah juga. “Apa sih yang pingin kalian omongin?” Ucapku pada akhirnya.
            “Aku ngomong duluan aja deh Ri!” Kata Ira menyela tawa kami, Ari hanya mngangguk. “Apa sih kalian!” Kutatap Ari dan Ira bergantian. Kemudian Ira menulai ucapannya lagi. “Ifta ama Rizki kemarn kan jalan berdua ketempat obserfasi… masa gak terjadi apa-apa gitu… “ Singgungnya. Aku hanya merespon kata-kata Ira dengan sangat mengerti.  Itu sebabnya aku  juga jadi malu-malu sendiri. “Pasti ada!” Sergah Ari. “He, eh! Ya, kan?” Tambah Ira.
            “Uh. Kenapa lagi-lagi secara tiba-tiba.” Hatiku berdialog. Tapi enggan rasanya membaginya pada mereka. “IFTA” Ira membuncah lamunanku. Semua isi dalam hatiku seperti berantakan sekarang. Bagaimana aku menyusunnya untuk kukatakan pada mereka.
            “Gak ada!” Timpalku. Mereka seakan kecewa mendapatinya. Entahlah, tapi sikap mereka jelas menunjukan maksud. Hatiku yang mulai menyukai semuanya ikut dalam permainan mereka.
ºººººº
            “Bagaimana?” Tanya Rizki. “Apanya?” Selaku. “Jawabnya?” huh… kita basa-basi untuk memulai sesuatu. “Em… Rizki Tanya… Ifta jawab deh!” Tuturku. Membuat Rizki terdiam. “Rizki suka sama Ifta!” Terangnya. Aku tersenyum, merekahkan bibirku dengan mimic yang sangat padam. Tapi tidak sampai membuatku lebai.
            “Terus…???” Ulurku. Aku sengaja mengganggunya sebelum benar-benar berkata iya! Tak dijawabnya permintaanku, agak sedikit membuatku kecewa. Tapi hatiku telah menjadi miliknya. Mau bagaimanapun aku akan tetap mencintainya.
ºººººº
            “Senangnya!!!” Ucap Ari dan Ira. “Kapan traktirannya?” Todong Ari. “Ia!!! Kan, ini karena usaha kita!!!” Tambah Ira. Rizki hanya menatapku, tersenyum manis. Aku tau maksudnya, tapi tak membuatku jua berkata. “Terserah Ifta aja!” Akhir jawaban Rizki.
            “Makasih ya. Ri, Ra?” Ucap Rizki lagi. “Ya… sama-sama Ki… “ Jawab Ira. “Kamu juga sering membantuku Ki.” Tambahnya. “Ia Ki, ini sih gak seberapa?” Timpal Ari. Kemudian Ari dan Ira bercerita mengungkapkan apa yang pernah terjadi.
ºººººº
            “Thaks yah Ki… Apa yang bisa Ira lakuin buat bales kebaikan Rizki?”
            “Gak usahlah. Sama-sama… “
            “Tapi berkat kamu Ki. Ira gak telat kasih ini lamaran, lagipula Ira juga bisa mendapatkan SKCK karena usaha Rizki nemuin pak polisi di jam 17:30. Kalo bukan Rizki pasti udah gak bisa!”
            “Udahlah. Gak papa!”
            “Eh. Rizki kan sering liatin Ifta. Suka yah…?”
            “Em… “
            “Gimana. Kalo Ira bantuin Rizki?”
            “E… “
            “Udah! Iya!”
            “Caranya… “
            Bla-bla-bla.

            Ira menceritakan detail kronologosnya. Aku yang dari awal sudah curiga, nimbrung membelah isi cerita mereka yang selanjutnya. “Terus… Ira ngusulin buat bantuin Ari ngerjain karya tulisnya . jadi Rizki bisa minta bantuan  Ifta dengan mudah. Ira tau kalo Ifta suka nulis. Ari setuju, dan mau bantuin Rizki juga! Begitu?” Ocehku panjang lebar sambil lenggak-lenggok seperti seorang guru yang sedang bercerita kepada murid-muridnya. Rizki senyum-senyum memperhatikanku.
ºººººº
            Seneng! Itu yang kurasakan. Ditambah hatinya dapat kumiliki juga. “Akh… !!!” Semua bener-bener terjadi… dan tak ada celah yang merusak kesempurnaannya. “Hatiku terus dielu-elukan dengan perasaan bahagia kala itu. Tak ada hal apapun yang dapat mengganggu kebahagiaanku. Rizki sosok yang mampu mengikat hatiku hanya untuknya. Entah hatinya, apa sama. Hanya dapat diikat olehku saja!
ºººººº
            Sebenarnya aku bukan perempuan pertama untuknya. Aku dengar ia pernah sangat mencintai Risa. Aku hampir saja takut akan dapat disamakan olehnya, tapi tidak. Rizki memperlakukanku bukan karena Risa ataupun untuk Risa. Tapi, melainkan melakukannya untukku dank arena aku. Hufh… pikirku, lega!
ºººººº
            “De!” De, adalah panggilan sayang Rizki padaku.
            “Ya. A!” Dan A. adalah panggilan sayang dariku untuk Rizki.
            “Kalo ada sesuatu ngomong yah? Sakit, seneng. Apa aja!” Pintanya.
            Aku pikir bisa menganggukan kepalaku. Tapi tidak, sikapnya membuatku tidak bisa berkata lebih banyak dari kata “Tidak tahu!” dan “Enggak!” Akh… Ia selalu bisa bersembunyi dengan tindak tanduknya. Atau aku saja yang harus lebih banyak belajar menyesuaikan diri dengan sikapnya.
            “Dede gak mau apa yang AA lakuin sama Dede itu sama seperti apa yang AA lakuin sama orang lain.” Pintaku. Aku memang paling tidak suka disamakan dengan orang lain. Terlebih untuknya, untuk seseorang yang sangat aku cintai.
            “Tapi tidak untuknya. Mungkin pintaku tidak digubrisnya. Malah banyak yang terjadi yang tidak aku suka.
            “Banyak!” Berulang kali aku ucapkan kata itu. Dalam diam sekalipun kurasakan begitu banyak kecanggungan dalam hatiku. Tapi apa yang kudengar setelah itu…
            “Rizki minta putus!” Pintanya. Setelah apa yang pernah ia minta tak kuberikan. Dan setelah rasa sakit membuat semuanya pahit.
            “Ifta pingin Rizki jadi pacar Ifta lagi. Ifta gak mau diputusin!” Pintaku setelah semua yang kulalui sesuai harapanku.
            Ia memperlakukanku berbeda. Sebagai orang yang sedang dicintainya, aku tak mendapatkan seluruh cintanya. Tapi, semua yang harusnya tak didapatkan oleh orang yang dicintainya kini aku terima.
            “Huh…!!!”
            Setelah kufikir-fikir, semua yang terjadi seperti beruntut. Saat lelah, tak lagi dapat kuelakan saat kudengar kabar bahwa Rizki telah balik ke-Risa.
            “Itu alas an Rizki memutuskanmu?” Kata Ina, yang kenal Rizki dan Risa. Ouch!
            “Ifta Cuma sekedar pelampiasan?” Hah!
            “Rizki mutusin Ifta untuk memenuhi permintaan Risa. Karena Rizki memintanya kembali untuk menjalin sebuah hubungan lagi” What!
            …
            “Rizki ngerasa gak cocok dengan Ifta” Lira ikut bicara. Teman sekaligus tempat curhat Rizki. Heh!
            And then…
            “Rizki Cuma bales dendam. Bukan Rizki yang ngejar-ngejar Risa, justru Risa yang ngejar-ngejar Rizki” Jelas Rizki. Jelang beberapa dekade, setelah proses panjang yang menyita waktuku. Itu jawaban terakhir yang kudapatkan. Truing-truing!
ºººººº
            Segera kupost pada blog yang kubuat. Sekelebat teringat lagi sakitku. Lalu mengenang lagi tragedy yang menimpaku itu. Dan berharap bisa menyeleseikan perasaanku disitu.
            Ttd: Ifta_Mufti(Mantan kekasihmu). Editedku….

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
░░░░░░░░░░░░░░░░░▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓

Cari Blog Ini

Entri Populer

KOMIK YANG MEMBERIKU INSPIRASI, IDE BAGUS DAN BANYAK SYARAT MAKNA!!!!!!!!!!!!

KOMIK YANG MEMBERIKU INSPIRASI, IDE BAGUS DAN BANYAK SYARAT MAKNA!!!!!!!!!!!!
Special Komik Ku,



EmJe`S World

Miftahul Jannah(EMJE),,,

“Aku adalah seorang perempuan yang ingin mengenal dan dikenal oleh seorang laki-laki,

Aku adalah seorang teman yang ingin menjadikan dan dijadikan sebagai sandaran hati,

Aku adalah Seorang saudara yang ingin mencontoh dan dicontoh oleh mereka saudara-saudaraku yang baik hati,

Aku adalah seorang murid yang ingin belajar dan diajar dengan guru-guruku saat ini,

Aku adalah seorang anak yang ingin berbakti dan diabdi keluargaku sampai nanti,

Dan aku seorang penulis yang ingin memberi dan diberi pada saat nanti,

Aku adalah seorang hamba yang terus berdoa pada Sang Rabbi sampai akhir hayatku nanti”


Aku… Seorang manusia biasa yang tak luput dari kasih dan mengasihi…


_________________

ємЈΞ